Hello Guys, Tiara bawa sebuah cerpen nih... Dibaca yuk! Berhubung sekarang bulan kelahirannya Bunda Kartini, aku bawain cerita yang berhubungan sama hari kelahirannya. Kalo udah baca, jangan lupa lampirin komen kamu yah :) Makasih sebelumnya...
Happy Reading:)~
“Boleh saja kau mengaku kuat, bisa
mengangkat truk pembawa kerikil dengan kedua lenganmu. Tapi itu tak berarti
jika kau tak bisa menahan emosimu”–Tiara Adesti
Pagi yang indah, kuawali hari ini
dengan senyuman yang cerah. Kulihat lapangan sekolahku berserakan dengan kertas
origami di mana-mana, ah ini pasti efek kegiatan Kartini kemarin.
Kegiatan yang menyenangkan, ada fashion show, hias tumpeng, dan cipta
puisi. Kebetulan sekali aku kemarin mengikuti lomba hias tumpeng. Hasilnya
benar-benar unik, aku dan kelompokku membuat nasi tumpeng volcano dengan sambal balado yang dilumuri di sekitar nasinya.
Kalian bisa bayangkan betapa hancurnya? Haha…
Terakhir kudengar dari Sofyan, salah
satu anak OSIS yang mengurus lomba tersebut, sekaligus teman baikku. Kelas
8C-lah yang terburuk. Haha… tapi tak apa, kami tak mengharapkan kemenangan.
Hanya ingin menambah pengalaman dan merasakan kebersamaan. Sungguh tujuan yang
indah…
“Yah, Mel! Kita gak punya meja!” Lisa,
teman sebangkuku sekaligus sahabat baikku berucap, sembari menekuk wajahnya.
Kulihat meja-kursi semua berantakan,
dan menyebalkannya, tempat dudukku tak memiliki meja. Ya, panggung fashion show Kartini kemarin terbuat
dari meja yang disatukan. Jadi kelas kami yang berada di dekat lapanganlah yang
diambil mejanya.
Kulihat semua murid sedang mencuri
meja, aku juga harus ikut mengambil meja-kursi itu.
“Ayo, Mel! Kita ikutan ngambil, keburu
kehabisan!” seru Lisa sembari menarik lenganku.
Aku dan Lisa menarik meja berwarna
jingga kecoklatan yang berada tepat di sebelah kami berdiri. Meja itu masih
bagus, kokoh, pijakan kaki ada, kolong meja tidak bolong, dan tidak beroyang
saat aku menggoyangkannya. Tak salah jika aku dan Lisa langsung memilihnya
untuk menjadi meja belajar kami. Walaupun ada beberapa tulisan tidak jelas yang
ditulis memakai tip-ex tertulis di
sana.
Aku tersenyum senang, ku taruh tas
berwarna pink mencolokku di kursi dan
duduk di sana. Kuamati meja yang sekarang menjadi milikku dan Lisa ini, ada
coretan memakai tip-ex tertera di
sini. Tidak, bukan coretan itu yang kupermasalahkan, tapi tulisannya.
Ada tulisan yang begitu kukenali siapa
penulisnya ini. ‘Rian love Shinta’,
begitulah tulisannya. Hmm… berarti ini meja Rian. Rian itu sahabatku, orang
bilang aku dan dia adalah TTM. Karena kedekatanku padanya yang seperti kacang
dan kulitnya ini, orang bilang seperti itu. Padahal kami hanya bersahabat.
Kulihat Lisa sedang ribut dengan musuh
besarnya, Arya namanya. Tapi menurutku mereka itu pantas sekali jika pacaran,
setiap hari ribut dan ribut, itu pasti trik yang dibuat Arya untuk mendekati
Lisa. Haha…
Pagi
ini seperti biasa, saat aku menunggu guru memasuki ruang kelas 8C, aku pasti
tidur di meja dengan lenganku sebagai bantalannya. Aku mendengar suara langkah
kaki yang kencang mendekat ke arah mejaku. Kulihat dari sudut mataku, dua orang
lelaki yang sangat kukenal mendatangiku. Mereka mengamati mejaku…
“Eh, ini ‘kan meja kita!”
“Enak aja lu main ambil meja kita!”
Mereka berdua merebut mejaku, refleks
aku langsung bangun dan ikut merebut mejaku. Dua lawan satu mana kuat? Apalagi
Dio itu berbadan gempal! Kupanggil Lisa untuk membantuku menarik meja ini
supaya tak direbut oleh mereka.
“Eh, ini meja kita, Rian!” ucap Lisa.
“Enak aja! Nih liat, ada tulisan ‘Rian
love Shinta’! Berarti ini meja kita
ya, Dio?”
“Ih, tapi kan gue yang dapet duluan!
Noh liat! Orang-orang juga pada rebutan meja!” ucapku
Rian dan Dio tak peduli, mereka tetap
berisi keras merebut meja kami. Lisa bilang, sudah biarkan saja! Itu memang
meja mereka. Tapi aku tak rela mengangkat meja di lab. IPA yang jauhnya
bermil-mil dari kelasku.
“Ayolah, Rian! Ngalah dong sama
wanita, gue lagi males ngangkat meja!”
“Masa cowok ngalah mulu?”
“Ish, lu tinggal ambil meja di Pak
Riswan aja sih! Lu kan OSIS, Rian! Mestinya lu yang ambil resiko! Ini kan efek
dari kegiatan OSIS” Rian hanya tersenyum miring, sungguh menyebalkan!
“Gue tau ini meja lu, Rian! Tapi gue
gak kebagian meja juga! Lagian orang-orang juga pada nyuri meja sih! Siapa
cepat dia dapat dong!?” Rian tak peduli, dia tetap merebut mejaku.
“Ih, lu tanggung jawab dong, Rian!
Meja ilang-ilangan itu gara-gara kegiatan OSIS kemarin tau gak?!”
Setelah berkali-kali merayunya dengan
kalimat yang sama, ia tak terbujuk juga! Ya sudahlah, aku lepas saja meja itu dengan
hati yang dongkol! Teramat dongkol!
***
“Ih, nyebelin tau, Lis! Lu ngangkat
meja dari lab. ke kelas kita emang gak capek? Gue udah bad nih kalo disuruh bolak-balik dari kelas ke lab.!”
“Terpaksa, kalo lu gak mau ngangkat,
terus lu mau nulisnya gimana? Nulis di kursi gitu?” aku merenggut
“Ih, tapi coba lu pikir, Lis! Kegiatan
fashion show Kartini kemarin itu kan
OSIS yang nyelenggarain ‘kan?” Lisa mengangguk
“Menurut gua sih, OSIS mestinya
tanggung jawab!” Lisa mengangguk mengerti.
“Tapi masa iya semua anak OSIS mesti
ngangkatin meja? Kan gak etis!” aku menghembuskan nafas sebal
“Gini nih, kan yang kehilangan meja kan
bukan anak 8C doang. Tapi anak 8D sama 8E juga. Nah, lu liat gak anak 8D ama 8E
pada ngangkat meja?”
“Ada! Si Okta anak 8D, dia ngangkat
meja sama si Nova”
“Nah itu dia! Lu tau kan si Okta itu
siapa?” dia berfikir, mengusap dagunya yang tumpul itu. Ia menggeleng tanda tak
tahu, aku menghela nafas.
“Si Okta itu OSIS! Berarti OSIS 8D
tanggung jawab dong? Ya nggak?”
“Hm… Bener juga! Mestinya dia bantuin
nyari meja, lah dia malah ngambil meja kita. Kan kayaknya gak tanggung jawab”
“Nah, tuh lu pinter! Ya kalo semua
anak OSIS gak mau bantuin ngangkat meja, se-enggaknya kan OSIS di kelas kita
sendiri gitu lho yang nyari! Coba lu liat dia lagi ngapain, dia malah duduk di
depan kelas sambil ngeliatin cewek yang lewat. Pemimpin apaan tuh?”
“Gua setuju banget kalo dia itu dapet
gelar ‘OSIS tersomplak’, ye nggak?”
“Ya, gua setuju banget. Gimana ntar
kalo kita lewat di depan dia, kita sindir aja dia? Lu mau gak?”
“Boleh-boleh”
“Ayo sekarang aja! Gua bener-bener
kebelet nih nyindir dia pas di depan mukanya!” ucapku tak sabaran.
“Yaelah kelez, orang mah gak sabar menunggu kebaikan, lu malah gak sabar
nyindir orang”
“Udah lu gak usah banyak cincong, ayo gece!”
Kutarik lengan Lisa dan berjalan ke
arah Rian dan Dio yang sedang duduk di depan kelas, makin lama aku semakin
dekat dengannya. Tiba-tiba rasa takut itu muncul, walau bagaimanapun, dia
adalah sahabatku. Aku bisa menyakiti hatinya jika begini.
“Dasar, OSIS yang gak tanggung jawab!”
Umpatan Lisa terdengar, membuatku juga
ingin mengumpat Rian! Aku benar-benar kesal dengan Rian! Rasa takut itu hilang
saat aku ingat ia merebut mejaku dengan kasar, buat apa aku mempedulikan
hatinya kalau ia pun tak peduli denganku yang tak memiliki meja. Dan akhirnya, dengan
lantangnya aku berkata…
“Tau! Gimana dia jadi suami orang,
ngurus kelas aja gak becus!” Umpatku
Aku lewat di depannya, secara
terang-terangan Lisa berteriak di depan wajahnya langsung…
“Woo! Dasar OSIS yang gak tanggung
jawab!” Jujur saja, aku tak berani mengumpatnya langsung di depan wajahnya, dia
itu kuanggap sebagai sahabat baikku.
***
BRAAK!
“Eh, bukan gua yang gak tanggung
jawab! Gua itu bukan di bagian property!
Kalo lu mau pertanggung jawaban, sono lu tanya aja sama Manda, dia ketua bagian
property! Blablabla…” Rian mencelaku. Aku tak terlalu mendengar apa yang dia
katakan, aku hanya cuek.
Ocehan tak bergunanya berhenti saat Bu
Yati, guru Matematikaku masuk kelas, bagus! Kupingku jadi tak panas lagi mendengar
semua kata kasarnya.
Semua berawal saat aku tlah berani
menyindir di depan wajahnya, ia kehilangan kesabarannya. Dan ia pun akhirnya menggebrak mejaku dan
mencelaku, itu sebenarnya biasa. Tapi yang membuatku malu dia mencelaku di
depan anak-anak! Sedangkan aku tidak separah itu, menyebalkan!
“Assalamu
‘alaikum…” Reza dan Yanto, teman sekelasku, memasuki kelas. Mereka membawa
kursi dari lab., hmm… ini kesempatan yang bagus untukku menyindirnya. Mejaku
dan mejanya dekat, hanya bersilang.
“Gak kasian apa…” ucapku agak pelan
sembari melirik sinis ke arahnya, aku harus ingat, ada guru –sekaligus wali
kelasku- yang duduk di meja guru kelasku. Aku harus tahu diri, bisa-bisa aku
dibawa ke ruang neraka –BP- dan dicap sebagai ‘Siswi bermasalah’.
“Eh, lu gak ada hak ngatain OSIS, lu
enak banget ngatain OSIS gak tanggung jawab. Itu udah termasuk pelecehan tau
gak?” ucapnya dengan nada yang tajam tapi dengan suara yang pelan. Aku tertawa
dalam hati, dikiranya aku menghina OSIS apa? Aku ini menghina dia yang tak bisa
bertanggung jawab dengan kelas yang dipimpinnya.
Saat pelajaran Matematika dimulai,
kudengar Ani –teman sebrang mejaku- menyindirku. Maklum, ia mantan anggota
OSIS. Mungkin ia tersinggung, halah! Dia tak mengerti apa-apa, untuk apa ikut
campur? Lagipula aku tak menghinanya, maupun OSIS.
***
“Eh, Amel! Emang maksud lu apa ngatain
OSIS gak tanggung jawab?” Rian berkata dengan kasar sembari menginjakan kakinya
ke lantai dengan kencang dan penuh emosi. Mungkin berniat membentakku, padahal
itu takkan membuatku takut.
Tepat pulang sekolah, novel yang
tadinya kutaruh di kolong meja menghilang. Setelah piket, aku mencarinya
kemana-mana seperti orang linglung. Masalahnya
novel itu bukan milikku, novel itu adalah pinjaman dari sahabatku. Rika, teman sekelasku berkata, tadi ia
melihat Yani –teman segenkku- mengambil novelku yang ada di kolong meja.
Aku bertanya kepada Yani, apa dia
mengambil novelku? Tapi ia malah menyuruhku berbicara serius, dan
menyebalkannya, ia juga mengajak Rian. Aku curiga, sepertinya aku dijebak.
Ternyata benar, Yani memberikan novelku dan berkata, Rian ingin berbicara
serius denganku.
“Ih, gua gak ngatain OSIS gak tanggung
jawab kok!”
“Jangan bohong! Kemarin lu bilang,
‘Dasar OSIS gak tanggung jawab!’,”
“Gua kan pake ‘yang’ kali. Jadi, OSIS ‘yang’ gak tanggung jawab. Siapa
OSIS yang gak tanggung jawab? LU!”
Ini bisa dibilang, Rian melabrakku,
bersama teman-teman se-genk-ku. Teman se-genk-ku melabrakku? Oh ayolah, Rian
sudah menghasut mereka semua supaya membelanya. Aku memang tipekal orang yang
tak suka menyebarkan problem-ku pada
sembarang orang, jadi mereka tak tau bagaimana posisiku. Dan mereka hanya tau
posisi Rian, yang katanya disakiti hatinya olehku! Bah!
Rian menendangku, benar-benar ciri
lelaki tak baik bukan? Apalagi dia pemimpin! Walah!
“Yang yang… Kan intinya lu ngatain
OSIS, gua masih rela kalo lu ngatain gua, tapi lu ngatain OSIS! Mereka itu udah kayak keluarga, dan gua gak
rela kalo lu ngatain keluarga gua!”
“Gua gak ngatain OSIS kok, biasa aja
kali!”
Dia menendang kakiku lagi, tak sakit
memang, tapi ini sudah termasuk kekerasan. Pemimpin apa seperti itu?
“Udah, Rian! Sabar!”, Juli, teman
se-genk-ku berucap.
“Amel, mungkin kamu emang gak ngatain
OSIS. Cuman kamu ngucapin kata OSIS, lho” Yani, teman satu genk-ku berkata.
“Aku gak ngatain OSIS kok, Yan! Malah
aku bela OSIS lain yang ikut nyari meja, dan yang aku salahin tuh Rian sebagai
OSIS, bukan OSIS!,”
“Dan mungkin OSIS emang buru-buru kali
ya ngembaliin mejanya, jadinya berantakan. Tapi kelas lain aja OSIS-nya
tanggung jawab kok. Pada bantuin nyari meja, lah dia? Cuma bisa ngerebut meja”
lanjutku
“Ya, lu kan bisa suruh sendiri ke dia.
Dia pasti bakal bantuin lu kok!”
“Ih, pemimpin yang bener tuh pasti
sadar lah akan tindakannya. Kalo dia emang bener, pasti dia udah nyamperin gua
dan bantuin gua ngangkat meja. Masa gak ada insiatif sama sekali sih?”
“Tapi, Mel! Lu pikir lagi deh, apa gak
lebay marahan gara-gara meja?”
Aku termenung, benar juga apa yang dikatakan
Yani, temanku. Berlebihan sekali aku ini, hanya meja yang direbut saja sampai
seperti ini? Aku sadar, perselisihan ini muncul karena rasa dongkolku.
“Lu tuh childish banget tau gak, Mel? Alay tau gak!” Rian membuka suara.
Aku menunduk, kenapa aku bisa sebodoh
ini? Mataku berkaca-kaca, hingga akhirnya bulir bening itu terjatuh. Segera
kuhapus, untung mereka tak tau.
“Ya udahlah, damai aja!” saran Yani
“Ya udah… Gua mah minta maaf! Gue sadar, pas itu gue lagi kebakar emosi” ucapku.
Yeah…
Aku sadar, emosi memang membuat kita lupa jalur hingga kita menyakiti hati
sahabat sendiri.
“Maaf-maaf, lebaran kelez” ucapnya, aku mendengus.
“Dia udah minta maaf, Rian! Katanya
kalo dia udah minta maaf ke lu, lu bakal maafin dia?!” Rian mengangguk
“Tapi ada seorang lagi yang ngatain
gue juga selain lu!” Aku mengerti
“Lisa!” Lisa yang tadinya berada di
depan kelas, menungguku dibebaskan oleh mereka sembari mendengarkan percakapan
kami, akhirnya dia menghampiriku saat aku memanggilnya.
“Tuh, dia minta PERTANGGUNG JAWABAN”
ucapku sembari menunjuk ke arah Rian, sengaja aku menekankan kata tanggung
jawab, sekaligus menyindirnya. Hehe…
“Maaf ya, Rian!” Ia menjulurkan
tangan, dengan muka jutek Rian membalas uluran tangan Lisa.
“Yey… Udah baikan!”
THE END
Ceritanya aneh ya? Hehe, makasih waktunya buat baca. Maaf kalau banyak kesalahan yang udah aku buat, See you, Guys! :)